Sabtu, 26 Februari 2011

Pengembangan Kurikulum Pembelajaran Sastra Pada Jenjang Pendidikan Sekolah Menengah

Oleh :

JUMIATI, S.Pd



A. PENDAHULUAN
Dalam setiap kurikulum, baik itu kurikulum yang berlaku pada tahun-tahun sebelumnya maupun kurikulum yang dipakai saat ini selalu merumuskan tujuan mata pembelajaran secara gamblang, tak terkecuali pembelajaran sastra yang termuat dalam mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia. Tujuan tersebut dirumuskan berdasarkan filosofi tertentu serta berdasarkan pertimbangan kebutuhan siswa, harapan pemerintah dan kebutuhan sosial. Tetapi selalu saja ada hal yang mengggangu penerapan tujuan itu. Padahal di dalam rumusan kurikulum telah ditetapkan rambu-rambu yang bisa dilaksanakan agar hasil pembelajaran dapat maksimal. Namun ironisnya, jika sudah tiba di dalam kelas rambu-rambu itu justru menjadi peraturan tak bersangsi. Ia bebas dilanggar, mungkin seperti itu?. Seperti halnya dengan persoalan yang menimpa pembelajaran sastra di sekolah-sekolah Indonesia.
Beberapa tahun terakhir bahkan hingga hari ini mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia seolah menjadi anak tiri di sekolah-sekolah kita, khususnya pembelajaran sastra. Jika dulu masih ada beberapa sekolah yang mempertahankan kelas bahasa sebagai buah dari penjurusan yang dicanangkan oleh pemerintah, maka hari ini kita bisa melihat dengan jelas bahwa sekolah-sekolah itu pun mengikut kepada yang lain, yakni melebur dan menghilangkan sama sekali jejak kelas bahasa di sekolahnya. Penulis berani mengatakan bahwa keputuusan ini murni bukan berdasarkan pertimbangan tingkat kebutuhan siswa yang sudah tidak relevan, sebagaimana prinsip pengembangan kurikulum. Tetapi ini adalah bukti nyata bahwa sebagian besar pendidik dan peserta didik tidak berminat sama sekali dengan sastra. Sekali lagi masalah ini bukan karena pembelalajaran sastra sudah tidak dibutuhkan lagi oleh siswa, melainkan ada sebuah problematika yang tidak bisa dipecahkan saat pembelajaran sastra berlangsung, hingga membuat guru menyerah, siswa pun jadi kapok, dan pada akhirnya kita berlomba-lomba menghindar dari pembelajaran sastra. Inilah fenomena yang membuat guru-guru yang masih setia dan pemerhati sastra sedikt miris, dan seharusnya membuat kita semua sebagai bangsa Indonesia juga ikut merasa prihatin, karena bagaimana pun juga sastra merupakan cerminan budaya dan sebuah bangsa.
Masihkah kita bungkam melihat persoalan ini berlanjut terus hingga suatu saat nanti akan membuat generasi bangsa ini rabun sastra? Ada apa sebenarnya yang terjadi di dalam kelas-kelas sastra kita sehingga pembelajaran sastra seolah menjadi menu spesial yang sulit dikunyah bahkan tidak akan pernah bisa dinikmati dengan segenap jiwa dan perasaan kemanusiaan? Bagaimana langkah kita selanjutnya sebagai guru bahasa dan sastra Indonesia setelah melihat fenomena ini? Apa yang harus diperbaiki dalam sistem pendidikan kita agar sastra kembali menemukan posisinya di hati guru dan peserta didik di negeri ini?

B. PEMBELAJARAN SASTRA DALAM KTSP
Kurikulum merupakan komponen pendidikan yang dijadikan acuan oleh setiap satuan pendidikan. Penyempurnaan kurikulum yang berkelanjutan merupakan keharusan agar sistem pendidikan nasional selalu relevan dan kompetitif. Saat ini kurikulum yang digunakan adalah kurikulum 2006 yang disebut dengan KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan). KTSP dikembangkan sesuai dengan satuan pendidikan, potensi sekolah/daerah, karakteristik sekolah/daerah, sosial budaya masyarakat setempat, dan karakteristik peserta didik.
Kurikulum berupaya melaksanakan proses akumulasi ilmu pengetahuan antargenerasi dalam suatu masyarakat. Dalam sebuah masyarakat yang homogen, masalah kurikulum tidak terlalu merisaukan. Namun dilihat dari konteks masyarakat yang plural/majemuk seperti Indonesia, kurikulum adalah pertarungan antar kekuasaan yang hidup dalam suatu masyarakat.
Melalui kebijakan KTSP, sekolah-sekolah diberi kebebasan menyusun kurikulum sendiri sesuai dengan konteks lokal, kemampuan siswa, dan ketersediaan sarana-prasarana. Kebebasan semacam itu tentu dilatarbelakangi oleh semangat pembaruan dalam bidang pendidikan yang selama ini diidamkan.
KTSP ialah kurikulum operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan di masing-masing satuan pendidikan (sekolah/madrasah). Sedangkan pemerintah pusat hanya memberi rambu-rambu yang perlu dirujuk dalam pengembangan KTSP, yaitu: (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional; (2) Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan; (3) Peraturan Menteri Pendidikan Nasinal Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi (SI) untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah; (4) Peraturan Menteri Pendidikan Nasinal Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan (SKL) untuk untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah; (5) Peraturan Menteri Pendidikan Nasinal Nomor 24 Tahun 2006 tentang pelaksanaan dari kedua Peraturan Menteri Pendidikan Nasional tersebut; dan (6) Panduan dari BSNP (Badan Standar Nasional Pendidikan).( Muhaimin, dkk. 2008, dalam http//achmad bashori . Guru bahasa , Sastra, dan KTSP)

KTSP sesungguhnya bukanlah hal yang benar-benar baru bagi dunia pendidikan di Indonesia. KTSP hanyalah penyempurnaan dari kurikulum sebelumnya yang telah berlaku di Indonesia. Kompetensi-Kompetensi yang terdapat dalam KTSP sesungguhnya pun ada dalam KBK (2004) namun jika dalam KBK hanya menitikberatkan pada ketercapaian kompetensi tanpa memandang siapa yang menggunakan kompetensi itu, sedikit berbeda dengan KTSP. KTSP memikirkan juga siapa yang menggunakan kompetensi itu sehingga yang paling tahulah yang seharusnya merencanakan yang terbaik untuk para siswa, yaitu sekolah yang bersangkutan. Maka dari itu KTSP disusun oleh sekolah yang bersangkutan dan diterapkan pula pada sekolah yang bersangkutan.
Dengan berubahnya kurikulum pada pendidikan kita, secara otomatis merubah pula sistem pendidikan yang kita lakukan. Hal yang serupa juga terjadi pada pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia. Dalam perjalanannya, pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia juga mengalami perubahan. Pembelajaran yang dahulu hanya menitikberatkan pada kemampuan dalam bidang kognitif saja, namun saat ini sudah berubah ke arah yang lebih baik dengan menitikberatkan juga pada aspek afektif dan psikomotornya.
Pembelajaran sastra di Indonesia ternyata tidak pernah lepas dari berbagai persoalan, baik yang berkaitan dengan keberadaannya di sekolah,yang menyatu dengan pembelajaran bahasa Indonesia, materi, bahan ajar penunjang, sampai metode serta cara penyampaiannya.
Jika dilihat dari perjalanan kurikulum kita yang sudah mengalami banyak perubahan serta telah berjalan begitu lama, seharusnya tidak ada hal yang tertinggal atau kurang diperhatikan oleh pendidikan kita. Dengan kata lain seharusnya semua aspek yang seharusnya ada sudah tercakup dalam pendidikan kita. Namun ternyata tidak demikian halnya dengan bidang sastra dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia.
Dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia, bidang yang paling dominan ialah bidang berbahasa, sedangkan bidang sastra hanya mendapatkan porsi yang sangat sedikit bila dibandingkan dengan bidang bahasa. Padahal pembelajaran sastra dapat memberikan sumbangan bagi pendidikan dan masyarakat jika cakupannya meliputi empat manfaat, yaitu; membantu keterampilan berbahasa, meningkatkan pengetahuan budaya, mengembambangkan cipta dan rasa, dan menunjang pembentukan watak.
Bidang sastra dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia seharusnya diporsikan lebih banyak waktu oleh lembaga pendidikan kita. Karena sastra merupakan bidang yang membutuhkan banyak sekali keterampilan. Tidak hanya perlu mnguasai ilmunya, namun juga perlu dapat mempraktikan secara langsung, dalam hal ini apresiasi reseptif-produktif. Namun dengan adanya waktu yang singkat bagaimana guru dapat menyiapkan siswanyaa menguasai bidang sastra itu lebih baik.
Sepertinya pun tidak hanya waktu singkat yang menjadi alasan sastra tidak mendapat tempat dalam pembelajaran, guru yang hanya menitikberatkan pembelajaran pada bidang bahasa saja itupun juga turut andil dalam membentuk sastra terpinggirkan.
Sastra merupakan istilah yang mempunyai arti luas, meliputi sejumlah kegiatan yang berbeda-beda. Beberapa pengertian tentang sastra sangatlah beragam, walaupun keragaman tersebut cenderung bersifat saling melengkapi. Beberapa pengertian tersebut terinci sebagai berikut. Sastra adalah bahasa. Sastra adalah ungkapan spontan dari perasaan yang mendalam. Sastra adalah ekspresi pikiran dalam bahasa (pikiran: ide, gagasan, pandangan, pemikiran dari semua kegiatan mental manusia). Sastra adalah insperasi kehidupan yang dimaterikan dalam bentuk keindahan. Sastra adalah semua buku yang memuat perasaan kemanusiaan yang mendalam dan kebenaran moral dengan sentuhan kesucian, keluasan pandangan, dan bentuk yang mempesona.
Pengertian tersebut menunjukkan bahwa ada tiga hal yang penting yang menunjukkan ciri khas sastra, yaitu; sastra adalah ekspresi pikiran dan perasaan manusia; bentuk lusan dan tulis; serta penggunaan bahasa yang indah menurut konteksnya. (c.f. Luxemburg, 1989, dalam http//bisastra.com. Sastra Seharusnya Tak Lagi Dipandang Sebelah Mata ).
Berdasar atas berbagai pengertian tersebut dapat ditarik benang merah tentang pengertian sastra yang fungsional, yaitu; sastra ialah bentuk seni yang diungkapkan oleh pikiran dan perasaan manusia dengan keindahan bahasa, keaslian gagasan, dan kedalaman pesan. (najid, 2003 dalam http//achmad bashori . Guru bahasa , Sastra, dan KTSP).
Kita sering berusaha memikirkan tentang berbagai kebutuhan yang dapat dipenuhi dengan pendidikan di negara-negara berkembang. Apabila karya-karya sastra dianggap tidak berguna, tidak bermanfaat lagi untuk menafsirkan masalah-masalah dunia nyata, maka tentu saja pembelajaran sastra tidak akan ada gunanya lagi untuk diadakan. Namun, jika dapat ditunjukkan bahwa sastra itu memiliki relevansi dengan masalah-masalah dunia nyata, maka pembelajaran sastra harus kita pandang sebagai sesuatu yang penting yang patut menduduki tempat yang selayaknya (Rahmanto, 1996, dalam http//bisastra.com. Sastra Seharusnya Tak Lagi Dipandang Sebelah Mata).

Jika pembelajaran sastra dilakukan dengan cara yang tepat, maka pembelajaran sastra dapat juga memberikan sumbangan yang besar untuk memecahkan masalah-masalah nyata yang cukup sulit untuk dipecahkan di dalam masyarakat. Masalah yang kita hadapi sekarang ialah menentukan bagaimana pembelajaran sastra dapat memberikan sumbangan yang maksmal untuk dunia pendidikan dan masyarakat pada umumnya.
Pembelajaran sastra dapat memberikan sumbangan bagi pendidikan dan masyarakat jika cakupannya meliputi empat manfaat, yaitu; membantu keterampilan berbahasa, meningkatkan pengetahuan budaya, mengembambangkan cipta dan rasa, dan menunjang pembentukan watak.
Kedua, KTSP tidak memunculkan nilai sastra (dalam rapor) untuk menghargai prestasi siswa dalam pelajaran sastra. Dari berbagai pertemuan dengan para guru bahasa Indonesia hampir semuanya bingung untuk memberikan nilai evaluasi sastra. Karena nilai sastra menjadi satu (terintegrasi) dengan nilai bahasa Indonesia. Apalagi sampai saat ini belum ada panduan sistem penilaian dan evaluasi KTSP, sebagian besar masih mengacu pada KBK 2004.


C. PROBLEMATIKA KTSP SASTRA
Dalam melaksanakan pembelajaran sastra, kita tidak boleh berhenti pada penguraian keterampilan ataupun pengetahuan. Sehingga kecakapan-kecakapan yang dimiliki siswa, yang memiliki kecakapan yang beraneka ragam, mampu dikembangkan secara optimal dan harmonis agar siswa dapat menyadari potensinya dan dapat mengabdikan diri bagi kepentingan-kepentingan generasinya.
Sastra, tidak seperti halnya ilmu kimia atau sejarah, tidak menyuguhkan ilmu pengetahuan dalam bentuk jadi. Sastra berkaitan erat dengan semua aspek manusia dan alam dengan keseluruhannya. Setiap karya sastra selalu menghadirkan sesuatu dan kerap menyajikan banyak hal yang apabila dihayati akan benar-benar menambah pengetahuan orang yang menghayatinya.(Rahmanto R. 1996, dalam http//bisastra.com. Sastra Seharusnya Tak Lagi Dipandang Sebelah Mata)

Dari uraian di atas sudah jelas bahwa pembelajaran sastra membutuhkan waktu yang cukup banyak agar siswa mampu menguasai sastra tidak hanya pada ilmunya, melainkan mampu mengembangkan potensi yang dimilikinya. Kurikulum kita yang menjadi patokan pengembangan pendidikan di setiap sekolah harusnya mampu melihat hal tersebut dengan baik. Namun hal berbeda terjadi pada kurikulum kita. Pembelajaran sastra yang harusnya mendapat sorota yang sama dengan pembelajaran di bidang lain justru tidak terjadi. Sastra masih dianggap sebagai pelangkap bidangan kebahasaan saja.
Bukti nyata dari hal itu terlihat dalam jumlah kompetensi dasar yang mencerminkan bidang sastra. Berikut merupakan salah satu contoh standar kompetensi dan kompetensi dasar pada tingkat SMA kelas XI semester I
Contoh standar kompetensi dan kompetensi dasar SMA kelas XI semester I Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar.
Medengarkan
1. Memahami berbagai informasi dari amanat dan wawancara.
1.1 Menemukan pokok-pokok isi sambutan/ khotbah yang didengar
1.2 Merangkum isi pembicaraan dalam wawancara
Berbicara
2. Mengungkapkan secara lisan informasi membaca dan wawancara.
2.1 Menjelaskan secara lisan uraian topik tertentu dari hasil membaca (artikel atau buku)
2.2 Menjelaskan hasil wawancara tentang tanggapan nara sumber terhadap topik tertentu
Membaca
3. Memahami ragam wacana tulis dengan membaca intensif dan membaca nyaring.
3.1 Menemukan perbedaan paragraf induktif dan deduktif melalui kegiatan membaca intensif.
3.2 Membacakan berita televisi dengan intonasi dan lafal yang baik.
Menulis
4. Mengungkapkan informasi dalam bentuk proposal, surat dagang, karangan ilmiah.
4.1 Menuulis proposal untuk berbagai keperluan
4.2 Menulis surat dagang dan surat kuasa.
4.3 Melengkapi karya tulis dengan daftar pustaka dan catatan kaki.
Mendengarkan
5. Memahami pementasan drama
5.1 mengidentifikasi peristiwa, pelaku, dan konflik pada pementasan drama
5.2 menganalisis pementasan drama berdasarkan teknik pementasan
Berbicara
6. memerankan tokoh dalam pementasan drama
6.1 menyampaikan dialog disertai gerak-gerik dan mimik, sesuai dengan watak tokoh
6.2 mengekspresikan perilaku dan dialog tokoh protagonis dan atau antagonis
Membaca
7. memmahami berbagai hikayat dan novel Indonesia/ novel terjemahan.
7.1 menemukan unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik hikayat.
7.2 menganalisis unsur-unsur intrinsik dan ektrinsik novel indonesia/ terjemehan
Menulis
8. mengungkapkan informasi melalui penulisan resensi
8.1 mengungkapkan prisip-prinsip penulisan resensi
8.2 mengaplikasikan prinsip-prinsip penulisan resensi.
Dari contoh di atas dapat kita amati bahwa, dari tujuh belas kompetensi dasar yang harus dikuasai siswa, sastra hanya mendapatkan tempat enam kompetensi dasar. Bila ditinjau dari waktu yang dibutuhkan untuk mencapai kompetensi-kompetensi itu dapat kita lihat dari tebel berikut.
Tabel struktur kurikulum mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia jenjang pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA)
Mata pelajaran bahasa Indonesia
Kelas X Kelas XI Kelas XII
Smt I Smt II Smt I Smt II Smt I Smt II
4 4 4 4 4 4
Berdasarkan tebel di atas dapat kita hitung berapa alokasi waktu yang diberikan untuk bidang sastra dalam setiap jenjang pendidikan dalam satu semester. Dalam satu semester, siswa mendapat pembelajaran dalam ± 20 minggu. Jika dalam setiap minggu bahasa dan sastra Indonesia mendapat 4 x 45 menit, maka waktu yang diperoleh dalam setiap semester ialah 80 jam pertemuan. Jika tiap tatap muka ialah 2 jam pertemuan maka bahasa dan sastra Indonesia memiliki 40 kali tatap muka. Dan setiap kompetensi dasar memiliki jatah ± 2-3 kali tatap muka. Pada akhirny sastra hanya mendapat jatah waktu 12-18 kali tatp muka. Bagaimana siswa dapat mengasilkan kemampuan yang maksimal?
Sejak awal, bidang studi sastra Indonesia terintegrasi dalam bidang studi bahasa Indonesia, sampai kurikulum 1975/1976. Baru pada kurikulum 1984, khususnya untuk SMA—nama bidang studi ini berubah menjadi Bahasa dan Sastra Indonesia dalam program inti, serta Sastra Indonesia dikhususkan untuk program pilihan Pengetahuan Budaya. Namun dalam kenyataannya, pengajaran sastra di SMP maupun SMA bukan berupa program pengetahuan budaya. Sastra Indonesia hanya semata-mata menumpang pada pengajaran bahasa Indonesia dan diberikan hanya selama 2-3 jam per minggu.(http//Johnherf.word press.com. Bahasa dan Sastra Indonesia di Sekolah, dalam http//achmad bashori . Guru bahasa , Sastra, dan KTSP)

Oleh karena itu, jika pembelajaran sastra berada dalam posisi terpuruk, bukan sesuatu yang perlu diherankan. Namun permasalahannya tentu bukan hanya pada “keheranan” atau tidaknya, melainkan pada apa upaya atau langkah-langkah yang dapat dijalankan untuk memperbaiki kenyataan yang sedemikian itu.
Berikut ini beberapa problematika nyata yang bisa kita temui dalam pembelajaran sastra saat ini.
1. Pertama, masih melekatnya pelajaran sastra dengan bahasa Indonesia. Pelajaran sastra yang masih 'ikut' pelajaran bahasa Indonesia pada pelaksanaannya akan bergantung pada guru-guru bahasa. Kalau guru bahasa mempunyai apresiasi sastra yang tinggi, maka pelajaran sastra akan mendapatkan perhatian yang lebih. Namun sebaliknya, jika guru tidak memiliki minat terhadap sastra atau apresiasi sastranya rendah, maka pembelajaran sastra cenderung akan dilaksanakan apa adanya sesuai tuntutan 'pemenuhan' kurikulum. Apalagi selama ini pelajaran sastra hanya menyumbang tidak lebih dari 20 persen nilai Bahasa Indonesia pada rapor, persentase nilai lainnya lebih banyak pada kebahasaan.
2. Kedua, rendahnya budaya baca di kalangan guru dan siswa. Faktor ini disebabkan banyak hal: terbatasnya kemampuan guru untuk membeli buku atau majalah sastra, budaya baca belum tercipta, dan budaya konsumerisme. Salah satu indikasinya, banyaknya keluhan dari para sastrawan disebabkan tidak bersedianya penerbit mencetak buku-buku sastra karena tidak laku jual. Penelitian Taufiq Ismail tahun 1997 yang menyebutkan bahwa siswa di Indonesia yang membaca sastra 0% dibanding negara lain saat ini pun masih relevan. Bagaimana mungkin budaya baca tumbuh di kalangan siswa bila para gurunya juga tidak rajin membaca?
3. Ketiga, minimnya kemampuan guru dalam mengajar sastra. Penyebabnya antara lain, masih kuatnya pola pengajaran lama walaupun tuntutan perubahan begitu kuat. Rutinitas membaca buku paket, menggarisbawahi apa yang disampaikan guru, membuat ringkasan, dan menghafal teori, nama sastrawan, dan karyanya dengan orientasi persiapan ulangan atau ujian. Pelajaran apresiasi puisi mungkin salah satu materi ajar yang menarik. Namun dapat membosankan karena guru tidak memiliki wawasan yang luas, keterampilan yang memadai, dan fasilitator yang proporsional. Tidak seperti pengajaran teori sastra atau sejarah sastra yang lebih menekankan aspek kognitif. Apresiasi puisi membutuhkan persiapan khusus, karena semua pihak yaitu guru, siswa, dan puisi itu sendiri berposisi sebagai objek. Alur komunikasi dalam kegiatan tersebut tidak mungkin satu arah untuk mendapatkan pemahaman, tetapi melalui proses diskusi atau dialog. Kurangnya kecintaan guru kepada sastra selain malasnya guru untuk membaca juga diperparah dengan tidak adanya pembinaan secara merata untuk meningkatkan kualitas guru dalam pengajaran sastra. Padahal, guru sastra profesional selalu berusaha melakukan berbagai improvisasi agar pelajaran sastra menyenangkan. Guru dapat memberikan kebebasan kepada siswa untuk membaca dan mengapresiasi beragam karya sastra (termasuk karya pop) dengan pandangan mereka sendiri. Guru hanya berperan sebagai narasumber dan fasilitator. Idealisme pada kurikulum 2004 dan KTSP 2006 yang memberikan ruang kreativitas kadang terkendala dengan target mengejar nilai (angka) ujian yang tinggi sehingga kreativitas sastra 'tersenggol' demi tuntasnya materi pelajaran.
4. Keempat, kurangnya sarana dan prasarana. Hal ini dapat dicermati dari langkanya perpustakaan sekolah yang menyediakan berbagai referensi yang up to date (novel, cerpen, puisi, naskah drama, dan penunjang apresiasi sastra), lebih banyak buku-buku lama. Kondisi hampir sama pun dialami perpustakaan yang dikelola oleh pemerintah. Akses informasi untuk mencerahkan (majalah, internet, dan alat komunikasi) bagi guru terbatas. Kondisi tersebut semakin memprihatinkan dengan tidak adanya tempat untuk berekspresi (sanggar sastra, gedung/aula teater) yang representatif. Sarana prasarana seperti ini sangat sulit kita jumpai, apalagi di daerah-daerah. Bandingkan dengan pelajaran yang lain seperti sains yang mempunyai laboratorium cukup lengkap.
5. Kelima, belum berhasilnya guru sastra menunjukkan misteri dibalik sastryang berupa manfaat-manfaat yang sangat relevan dengan kehidupan sehari-hari berupa kepekaan perasaan, kehalusan budi, dan nilai-nilai humannistik. Kekayaan ini masih tertimbun sangat dalam sehingga siswa merasa tidak perlu mengorbankan banyak hal untuk mempelajarinya.
6. Keenam, sastra seolah hanya sebagai pelengkap materi bahasa Indonesia, hanya sekadar tumpukan teori yang kaku dan monoton. Lihat saja materi-materi pembelajaran sastra dari dulu hingga sekarang selalu saja menggunakan contoh-contoh karya yang tempo dulu, mengapa kita seolah takut melakukan inovasi bahan pembelajaran. Sastra Indonesia saat ini sedang berkembang, mengapa itu tidak di godok masuk ke dalam kelas-kelas sastra?.
7. Ketujuh, kurangnya perhatian pemerintah dan masyarakat. Penghargaan kepada sastrawan yang hampir tidak terdengar. Justru penghargaan yang diperoleh sastrawan Indonesia bersal dari negara lain. Berbeda dengan profesi di bidang lain (olahraga, ekonomi, IPTEK, dan politik) yang begitu meriah, dielu-elukan, dan mendapat berbagai fasilitas. Jangan kaget apabila sebagian besar siswa di sekolah enggan menggeluti sastra sebagai profesi yang tidak begitu menjanjikan untuk jaminan masa depan. Mencermati berbagai kondisi dan realitas saat ini sastra yang kurang mendapat tempat di masyarakat dan pemerintah, rasanya cukup sulit untuk mewujudkan bahasa dan khususnya Sastra Indonesia menjadi pelajaran yang menarik dan favorit. Kiranya perlu memperoleh perhatian yang cukup dari berbagai pihak untuk mengangkat sastra ke tempat yang lebih terhormat. Jangan sampai ada anggapan bahwa belajar sastra membuang waktu sia-sia. Karena tidak satu dua rekan guru bahasa dan sastra Indonesia yang berkeluh kesah bahwa pelajaran sastra kurang menarik atau diminati para siswa.


D. DARI PENGAJARAN KE PEMBELAJARAN (Sebuah Rekonstruksi Strategi Pembelajaran Sastra)
Beberapa kurikulum sebelumnya lebih cenderung menggunakan istilah pengajaran. Tanpa disadari penggunaan istilah seperti ini pun kadang-kadang mempengaruhi penerapan konsep pendidikan. Jika sebelumnya KBK dengan istilahnya “pengajaran”, maka pada KTSP lebih cenderung menggunakan istilah pembelajaran. Kedua istilah ini ternyata memiliki perbedaan yang cukup signifikan. Dalam KKBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), pengajaran diartikan sebagai proses, cara, perbuatan mengajar atau mengajarkan sedangakan pembelajaran didefinisikan sebagai proses, cara, perbuatan yang menjadikan orang atau makhluk hidup belajar. Jadi dengan mencermati definisi kedua istilah di atas, terekam sebuah pesan bahwa keduanya memiliki orientasi yang berbeda meskipun dibentuk dari akar kata yang sama. Pengajaran lebih berorientasi pada guru (teacher-centered), di mana guru menjadi pelakon utama sekaligus sutradara di dalam kelas, dan siswa cenderung pasif dan menjadi penonton yang baik, meskipun di dalam jiwanya berkecamuk banyak hal yang ingin diekspresikan, tapi kondisi kelas tidak bisa melayani hal tersebut. Sedangkan pembelajaran berorientasi pada siswa (learner-centered), pendekatan ini menyerahkan sebagian besar peranan kepada siswa, siswa diberi kebebasan memberdayakan potensinya semaksimal mungkin.
Dalam pembelajaran guru sebagai mediator dan pelayanan potensi sedangkan siswa adalah pemeran utama (learner-centered). Oleh karena itu istilah pembelajaran yang (learner-centered) pun idealnya mewarnai proses pembelajaran di dalam kelas. Sebabnya, sebagai mediator, seorang guru sastra harus bisa mengembangkan strategi pembelajarannya agar sastra bisa masuk dalam jiwa peserta didik sebagaimana yang diharapkan selama ini.
Strategi baru yang penulis coba usulkan adalah sebagai berikut:
1. merekonstruksi pemahaman siswa tentang sastra
Jelajahi dunia siswa kemudian pelan-pelan masuk ke dalam pikrannya dan yakinkan mereka bahwa bahwa sastra bukanlah kumpulan materi yang siap untuk dihafal, kemudian dilupakan, melainkan sastra adalah pengalaman yang akan dijelajahi bak samudera karena banyaknya manfaat yang bisa diperoleh dari bidang ini. Dan serta merta pada tahap ini pengalaman bersastra guru diuji.
2. Menyiapkan kelas menjadi dunia sastra yang luas dan dekat bagi siswa
Membawa siswa masuk dan mencelupkna diri ke dalam sastra dengan mengangkat karya-karya yang dekat dengan mereka, kemudian beralih memperkenalkan hal-hal yang lebih kompleks. Ajak mereka menikmati sastra lebih dahulu dengan flow tanpa kepala mereka dibebani oleh berbagai macam teori. Teori memang penting, tapi sikap positif jauh lebih penting, yaitu keterikatan batin antara siswa sengan sastra bisa dijalin lebih dini, rasa bahasa dan cita rasa sastra kiranya dimaksimalkan terlebih dahulu, dan itu hanya akan terjadi jika siswa bisa memasukkkan dirinya ke dalam sastra dengan totalitas melalui pintu pemikiran yang bebas hambatan. Sekali lagi teori memang bagian penting dalam pembelajaran sastra, tapi minat dan chmestry jauh lebih penting. Jika minat dan perasaan sastra sudah tercipta maka akan lebih mudah memperkenalkaan teori-teori itu. KTSP merupakan kurikulum yang memberikan kewenangan penuh kepada sekolah khususnya guru yang melaksanakan pembelajaran untuk melaksanakan pembelajaran sesuai dengan kebutuhan siswanya. Maka dari itu kurikulum bukanlah kitab suci yang tidak boleh dirubah sesuai dengan kebutuhan. Jika guru menginginkan perubahab pada kompetensi yang ada, maka guru boleh mengubah kompetensi-kompetensi yang dirasa perlu digunakan dalam pembelajaran. Di sinilah kesempetan guru untuk mengimprovisasi pembelajaran sastra jika memang merasa bertanggung jawab dan menaruh harapan besar terhadap besarnya peluangpembelajaran sastra dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, pada sisi kehidupan yang lebih bernilai.
3. Mata pelajaran bahasa dan sastra indonesia adalah mata pelajaran yang begitu kaya, maka jika proses pembelajarannya monoton serta membuat siswa tidur dan ingin cepat-cepat meninggalkan kelas, maka ini menandakan bahwa ada potensi dan kekayaan sastra yang belum diberdayakan. Salah satu potensinya adalah nilai artistik dan estetika. Guru bisa saja membangkitkan minat siswa terhadap sastra dengan cara mengejewantahkan nilai-nilai tersebut ke daam proses pembelajaran. Misalnya, guru menyiapkan instrumen musik pada saat deklamasi puisi di dalam kelas, demikian juga pada saat proses produksi karya sastra, instrumen musik yang tepat juga bisa diberdayakan, ini penting karena proses berkarya membutuhkan perenungan dan pemusatan pikiran, dan zona ini bisa dihadirkan dengan menggunakan rangsangan baik audio, visual maupun kombinasi antara keduanya. Beberapa penelitia menunjukkan bahwa musik bisa membantu seseorang masuk dalam zona menyenangkan untuk relaksasi, dan lebih penting bisa merangsang fungi otak dan menstabilkan detak jantung.
4. Setiap individu itu memilki kekayaan hidupnya masing-masing, hal ini jangan pernah diabaikan. Jadi terjemahkan konsep teori dalam pembelajaran di dalam kelas, beri kebebasan kepada siswa untuk mengekspresikan kekayaan hidupnya masing-masing melalui aplikasi sastra (kebebasan yang terkontrol tentunya). Dan hargailah hasil kerja mereka. Dengan demikian, lambat laun mereka akan merasa dunia bru kini mereka temukan di kelas sastra, di mana mereka mulai merasakan bahwa pembelajaran sastra ternyata mengahargai kehidupan mereka. Ini tentu kabar baik untuk pembelaajran sastra, dan lebih penting lagi kabar baik untuk kita semua sebagai guru dan pemerhati sastra. Bahwa telah akan tumbuh kembali spirit, pikiran dan sikap-sikap positif siswa terhadap sastra. Insya Allah!
5. Perkenalkanlah sastra kepada siswa mulai dari contoh karya sastra yang dekat dengan dunia mereka, karya sastra yang sesuai dan bisa melayani kebutuhan usia dan emosi mereka. Dengan tetap mempertimbangkan karya-karya yang bermutu.
6. Solusi-solusi mengenai strategi lebih ditujukan kepada guru karena tidak bisa dipungkiri bahwa jika dibandingkan dengan siswa, guru memilki kesempatan leibih besar untuk meeperbaiki kelas-kelas sastra di sekolah-sekolah kita.
7. Waktu untuk belajar tidak hanya ketika waktu yang sudah dicanangkan (jam pelajaran formal), sehingga guru dapat menyiasati waktu pembelajaran yang dirasa kurang denganmenggunakan waktu di luar jam pelajaran formal. Misalnya saja guru dapat memasukkan bidang sastra pada kegiatan ekstrakurikuler. Guru bisa mempelopori terbentuknya semacam perkumpulan bagi siswa yang berminat sastra misalnya dengan tajuk ‘bengkel sastra”. Dan selanjutnya membuatnya eksis di sekolah, karya-karya yang dihasilkan bisa dipublikasikan di media seklah sepetti mading dan pertunjukan seni sastra. Sehingga dengan demikian, minat siswa bisa digali karena mereka bisa melihat sendiri hasil dari pembelajaran tersebut, yakni sastra yang kreatif-produktif.
8. Ada satu strategi yang nampaknya harus pendidikan formal tiru dari pendidikan di pesantren. Lingkuangan pesantren yang selama ini kita kenal sebagai naungan yang lebih berfokus pada ilmu-ilmu agama ternyata memiliki apresiasi terhadap sastra yang cukup tinggi. Mereka mencoba menghadirkan sastra dalam setiap pembelajran mereka, sekalipun itu bukan mata pelajaran sastra sekalipun. Sudah menjadi budaya di sana jika jam pelajaran diawali dengan bersama-sama mendeklamasikan atau menyanyikan puisi begitu pula saat pembelajaran berlangsung, sastra seolah menjadi menu spesial dala pembelajaran. Fungsi sastra sebagai ungkapan motivasi dan semangat memang tidak bisa dipungkiri, dan dunia pesantren telah memberdayakan itu. Nah, pertayaan pun muncul, jika dunia pesantren yang notabenanya pendidikan nonformal saja bisa melakukan hal sebaik itu terhadap sastra, mengapa pendidikan formal kita tidak bisa? Padahal rumusan pembelajaran sastra telah begitu jelas diuraikan dalam kurikulum. Rasanya pendidikan formal bisa melakukan hal serupa seperti di pesantren bahkan memiliki kapasitas yang lebih besar tentunya jika benar-benar semua unsur bisa diberdayakan. Sebagai solusi, rasanya penting bagi guru sastra untuk mengikis kekakuan pada setiap mereka mengajar, biarkan semuanya mengalir, dan buat pembelajaran sastra fleksibel.
Sedangkan saran untuk guru pendidikan bahasa dan sastra indonesia sebagai berikut:
1. Seorang guru bahasa dan sastra Indonesia, seharusnya memiliki perhatian yang sama dalam membelajarkan siswanya, baik itu sastra maupun bahasa. Jika setiap guru bahasa dan sastra Indonesia memiliki perhatian yang sama. jika keteramipilan berbahasa dan keterampilan bersastra bisa disinergikan dengan baik maka ini bisa menggali dan mmeberdayakan potensi siswa secara lebih optimal, ini berarti pula pelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah bis menjadi mata pelajaran favorit karena manfaatnya bisa diraskan langsung oleh pendidik dan peserta didik itu sendiri.
2. Dalam pendidikannya, guru bahasa dan sastra Indonesia harus dibekali kemampuan yang cukup dalam bidang sastra, sehingga tidak ada keraguan guru untuk membelajarkan sastra kepada siswa-siswanya.
3. Seorang guru seharusnya mampu untuk memberiakan dorongan terhadap siswanya agar mau mempelajari sastra, sehingga di mata siswa sastra bukanlah hal yang menjemukan atau hal yang menakutkan. Seorang guru harus mampu menjadi motivator bagi diri sendiri serta untuk siswa-siswanya. Dan ini bergantung dari pengalaman besastra seornag guru sastra, sehingga apa yang dikomunikasikan bukan sekadar dongeng pengantar tidur melainkan suatu pengalam yang bisa ditiru oleh siswa.


E. PENUTUP
Dunia pendidikan kita saat ini masih sedang mengokokohkan jati dirinya. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika dasar pendidikan masih selalu berubah-ubah, semuanya adalah proses penemuan pondasi yang paling tepat untuk sistem pendidikan kita.
Saatnyalah pembelajaran sastra diletakkan pada posisinya. Harapan dengan inovasi yang dilakukan dalam penmeblajaran sastra di sekolah-sekolah kita bbisa menepis anggapan bahwa sastra hanya sebatas materi yang harus dituntaskan dan selanjutnya nilai akan terteraa di laporan akhir sekolah. Sebaliknya, diharapkan sastra menunjukkan peranannya bagi kehidupan subjek didik.
Berdasarkan uraian di atas, hal yang dapat kita simpulkan ialah sebagai berikut:
 Sastra seharusnya memiliki hak yang sama dengan bidang-bidang pembelajaran yang lain, sebab sastra juga memiliki peran penting dalam pembentukan watak bangsa.
 Seorang pembuat kurikulum harusnya mengerti tentang dunia pendidikan. Jika pembuat kurikulum tidak mengerti tentang bahasa dan sastra, maka kurikulum yang dihasilkanpun tidak akan mampu digunakan secara maksimal. Karena perumusan tujuan yang jelas di dalam kurikulum juga akan memperjelas tindak lanjut di lapangan.
 Waktu yang singkat dalam pembalajaran formal bukanlah hambatan yang kemudian hanya mampu disesali guru dan pihak-pihak yang terkait dengan pendidikan, sebab kurikulum KTSP memberikan kebebasan yang luas untuk guru yang ingin mengembangkan potensi siswanya.
 Seorang guru tidak harus diam dan menyerah pada keadaan siswa dan dunia pendidikan, namun seorang guru juga harus memiliki kecakapan yang baik untuk mampu mengubah siswanya menjadi generasi yang dapat diandalkan oleh bangsa. Dan untuk mencapai hal itu guru harus memiliki inovasi yang hebat dalam membelajarkan sastra pada siswanya. Guru juga harus mampu menjadi motivator yang baik untuk memberikan motivasi pada siswanya agar menjadi manusia unggul yang dapat diandalkan.
Dengan demikian sudah saatnya pemeblajaran sastra menjadi ujung tombak guru-guru bahas dan sastra bisa mengembalikan apresiasi masuarakat tentang bidang ini sehingga tidak ada lagi kecamata kuda yang memandang pembelajran sastra, pada khusunya, dan pembelajaran bahasa dan saastra indonesia pada umumnya sebagai bidang sampingan dan pembuangan. Demi Allah, sama sekali bukan!.



DAFTAR PUSTAKA

Endraswara, suwardi.2005. Metode dan teori pengajaran sastra. Yogyakarta: Buana Pustaka.
http//achmad bashori . Guru bahasa , Sastra, dan KTSP. Diakses 19 januari 2011.
http//bisastra.com. Sastra Seharusnya Tak Lagi Dipandang Sebelah Mata. Diakses 19 jannuari 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar