Sabtu, 26 Februari 2011

Peran Media Massa dalam Pembelajaran Keterampilan Menulis

Oleh :


PAHARUDDIN, S.Pd


A. Latar Belakang
Media massa terutama koran dan televisi tidak hanya berperan mem-beri informasi terhadap masyarakat yang menjadi pembaca atau pemirsa-nya, tetapi juga memiliki peran edukasi. Tidak saja dalam bidang sosial kemasyarakatan, tetapi juga dalam bidang pendidikan.
Di samping menyuguhkan informasi-informasi terbaru dari peritiswa yang terjadi, media massa juga memberikan rangsangan kepada publik un-tuk berbuat dan kreatif. Bahkan Dennis (1987: 1) menyebutkan media massa merupakan sarana pengembangan kebudayaan. Bukan hanya budaya dalam pengertian seni dan simbol tetapi juga dalam pengertian pengembangan ta-ta cara, mode, gaya hidup dan norma-norma.
Disadari atau tidak, media massa sangat berperan dalam perkem-bangan atau bahkan perubahan pola tingkah laku masyarakat. Itu sebabnya kedudukan media massa dalam masyarakat sangatlah penting. Dengan ada-nya media massa, masyarakat yang semula tidak beradab dapat menjadi masyarakat yang beradab. Hal itu disebabkan, oleh karena media massa mempunyai jaringan yang luas dan bersifat massal sehingga masyarakat yang membaca tidak hanya orang-perorang tapi sudah mencakup jumlah puluhan, ratusan, bahkan ribuan pembaca, sehingga pengaruh media massa akan sa-ngat terlihat di permukaan masyarakat.
Peran media massa dalam dunia pendidikan juga cukup besar. Hanya, perannya selama ini terbatas sebagai penyebar informasi saja. Media massa menjadi jembatan informasi antarkalangan pendidik atau stakeholder yang terlibat dalam pengelolaan pendidikan. Koran atau majalah menginformasi-kan kegiatan-kegiatan sekolah dan isu-isu lain yang menyangkut pendidikan.
Jika dikaji lebih jauh, peran media massa bisa lebih besar lagi. Di samping fungsi informatif, media massa juga dapat mendorong kreativitas-kreativitas baru pelaku pendidikan baik guru maupun anak didik dalam mengembangkan kompetensinya.
B. Pembelajaran Keterampilan Menulis

Proses belajar-mengajar tidak dapat dipisahkan dari tujuan peng-ajaran. Setiap kegiatan yang dilakukan melalui proses ada tujuan yang ingin dicapai. Pembelajaran di dalamnya terdapat tujuan belajar yang tidak dapat dilepaskan dari adanya bahan pengajaran dan pendekatan. Belajar-mengajar pada dasarnya merupakan interaksi atau hubungan timbal-balik antara guru dan siswa dalam situasi pendidikan. Guru dalam kegiatan pembelajaran dituntut kesabaran dan keuletan sehingga tercipta kegiatan belajar yang aktif.
Belajar bahasa mencakup empat keterampilan berbahasa yaitu mendengarkan, berbicara, menulis, dan membaca. Keempat aspek tersebut harus mendapatkan porsi seimbang dan dilaksanakan dalam kegiatan pembelajaran secara terpadu. Aspek-aspek keterampilan ini harus dilak-sanakan dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia dengan tujuan sis-wa mampu dan berlatih berkomunikasi, yaitu melalui latihan-latihan dan praktik kebahasaan.
Menulis merupakan keterampilan berbahasa yang bersifat aktif. Menulis berkaitan erat dengan aktivitas berpikir. Menulis juga menuntut kemampuan berpikir yang memadai juga menuntut berbagai aspek yang terkait seperti penguasaan materi tulisan, pengetahuan bahasa tulis, dan motivasi yang kuat. Masalah yang sering dilontarkan dalam pelajaran mengarang adalah siswa kurang menguasai pemakaian bahasa Indonesia yang baik dan benar. Hal ini terlihat dari pilihan kata yang kurang tepat, kalimat yang kurang efektif, dan sulit mengungkapkan gagasan dalam bentuk tulisan.

Menulis adalah sebuah keterampilan berbahasa yang terpadu, yang ditujukan untuk menghasilkan sesuatu yang disebut tulisan. Sekurang-kurangnya, ada tiga komponen yang tergabung dalam perbuatan menulis, yaitu: (1) penguasaan bahasa tulis, yang akan berfungsi sebagai media tulisan, meliputi: kosakata, struktur kalimat, paragraf, ejaan, pragmatik, dan sebagainya; (2) penguasaan isi karangan sesuai dengan topik yang akan ditulis; dan (3) penguasaan tentang jenis-jenis tulisan, yaitu bagaimana merangkai isi tulisan dengan menggunakan bahasa tulis sehingga membentuk sebuah komposisi yang diinginkan, seperti esai, artikel, cerita pendek, makalah, dan sebagainya.

Menulis bukan pekerjaan yang sulit melainkan juga tidak mudah. Untuk memulai menulis, setiap penulis tidak perlu menunggu menjadi seorang penulis yang terampil. Belajar teori menulis itu mudah, tetapi untuk mempraktikkannya tidak cukup sekali dua kali. Frekuensi latihan menulis akan menjadikan seseorang terampil dalam bidang tulis-menulis.


C. Pendekatan Pengajaran Menulis: Tradisional dan Proses

Pembelajaran menulis dengan pendekatan tradisional lebih mene-kankan pada hasil berupa tulisan yang telah jadi, tidak pada apa yang dikerjakan pembelajar ketika menulis. Pembelajar berpraktik menulis, mereka tidak mempelajari bagaimana cara menulis yang baik. Sejumlah penelitian tentang menulis menyebutkan bergesernya penekanan pembelajaran menulis dari hasil (tulisan) ke proses menulis yang terlibat dalam menghasilkan tulisan. Peran pengajar dalam pembelajaran menulis dengan pendekatan proses tidak hanya memberikan tugas menulis dan menilai tulisan para pembelajar, tetapi juga membimbing pembelajar dalam proses menulis (Tompkins, 1990: 69).
Perbedaan antara pendekatan tradisional dan pendekatan kete-rampilan proses dalam pembelajaran menulis bahasa Indonesia bagi penutur asing tingkat lanjut sebagaimana dikemukakan Tompkins (1990: 70) dapat dilihat pada bagan berikut.

Pendekatan Tradisional dan Keterampilan Proses dalam Menulis

No. Komponen Pendekatan Tradisional Pendekatan Proses
1 Pilihan Topik Tugas menulis kreatif yang spesifik diberikan oleh pengajar Pembelajar memilih topik sendiri, atau topik-topik yang diambil dari bidang studi lain
2 Pembelajaran Pengajar hanya sedikit atau tidak memberikan pelajaran.
Pembelajar diharapkan menulis sebaik-baiknya Pengajar mengajar pem-belajar mengenai proses menulis dan mengenai bentuk-bentuk tulisan
3 Fokus Berfokus pada tulisan yang sudah jadi Berfokus pada proses yang digunakan pembel-ajar ketika menulis
4 Rasa Memiliki Pembelajar menulis un-tuk pengajar dan kurang merasa memiliki tulisan sendiri Pembelajar merasa memiliki tulisan sendiri.

5 Pembaca Pengajar merupakan pembaca utama Pembelajar menulis untuk pembaca yang sesungguhnya
6 Kerja Sama Hanya sedikit atau tidak ada kerja sama Pembelajar menulis de-ngan bekerja sama dan berbagi tulisan dengan teman kelompok/kelas
7 Draft Pembelajar menulis draft tunggal dan me- musatkan pada isi seka-ligus mekanik (ejaan, tanda baca, tata tulis) Pembelajar menulis draft (outline) untuk menuang-kan gagasan, merevisi dan menyunting draft se-belum buat hasil akhir
8 Kesalahan Mekanik Pembelajar dituntut untuk menghasilkan tulisan yang bebas dari kesalahan Pembelajar mengoreksi kesalahan sebanyak-ba-nyaknya selama menyun-ting, tetapi tekanannya lebih besar pada isi.
9 Peran Pengajar Pengajar memberikan tugas menulis dan meni-lainya jika sudah jadi Pengajar mengajarkan cara menulis dan membe- ri balikan selama siswa merevisi dan mengedit
10 Waktu Pembelajar menyelesaikan tulisan dalam satu jam pelajaran Siswa menghabiskan waktu lebih banyak untuk mengerjakan setiap tugas menulis
11 Evaluasi Pengajar mengevaluasi kualitas tulisan setelah tulisan selesai disusun Guru bisa memberi balikan untuk mengoreksi tulisan siswa.

Dari kedua pendekatan pengajaran menulis seperti tertera pada bagan di atas dapat diketahui kelemahan dan keunggulannya. Pada pendekatan tradisional, pengajar memberikan topik tulisan dan setelah pembelajar mengerjakan tugas tersebut selama setengah atau tiga per empat jam (satu jam pelajaran), pengajar mengumpulkan pekerjaan pembelajar untuk dievaluasi. Dengan model pembelajaran seperti ini biasanya hanya sedikit saja pembelajar yang dapat menghasilkan tulisan yang baik. Sebagian besar pembelajar biasanya hanya menghasilkan tulisan yang kurang baik. Pengalaman di lapangan dalam memberikan proses pembelajaran terhadap penutur asing menunjukkan bahwa kadang-kadang mereka hanya dapat menghasilkan beberapa kalimat saja. Dalam kondisi semacam ini pembelajar tidak mempelajari bagaimana cara menulis. Mereka dihadapkan pada tugas sulit yang harus mereka kerjakan tanpa memperoleh penjelasan mengenai cara mengatasi kesulitan yang mereka hadapi.
Menyadari terhadap kenyataan yang tidak menguntungkan bagi upaya pengembangan keterampilan menulis bahasa Indonesia bagi penutur asing tingkat lanjut seperti digambarkan di atas, seyogianya dapat diterapkan model/pendekatan keterampilan proses dalam pembelajaran menulis. Untuk itu, terlebih dahulu perlu diketahui proses kreatif dalam menulis.

C. Proses Kreatif dalam Menulis

Menulis merupakan suatu proses kreatif yang banyak melibatkan cara berpikir divergen (menyebar) dan konvergen (memusat) (Supriadi, 1997). Menulis tidak ubahnya dengan melukis. Penulis memiliki banyak gagasan dalam menuliskannya. Kendatipun secara teknis ada kriteria-kriteria yang dapat diikutinya, tetapi wujud yang akan dihasilkan itu sangat bergantung pada kepiawaian penulis dalam mengungkapkan gagasan. Banyak orang mempunyai ide-ide bagus di benaknya sebagai hasil dari pengamatan, penelitian, diskusi, atau membaca. Akan tetapi, begitu ide tersebut dilaporkan secara tertulis, laporan itu terasa amat kering, kurang menggigit, dan membosankan. Fokus tulisannya tidak jelas, gaya bahasa yang digunakan monoton, pilihan katanya (diksi) kurang tepat dan tidak mengena sasaran, serta variasi kata dan kalimatnya kering.
Sebagai proses kreatif yang berlangsung secara kognitif, penyusunan sebuah tulisan memuat empat tahap, yaitu: (1) tahap persiapan (prape-nulisan), (2) tahap inkubasi, (3) tahap iluminasi, dan (4) tahap veri-fikasi/evaluasi. Namun, jika dilacak lebih jauh lagi, hampir semua proses menulis (esai, opini/artikel, karya ilmiah, artistik, atau bahkan masalah politik sekali pun) melalui keempat tahap ini. Harap diingat, bahwa proses kreatif tidak identik dengan proses atau langkah-langkah mengembangkan laporan tetapi lebih banyak merupakan proses kognitif atau bernalar.
Pertama, tahap persiapan atau prapenulisan adalah ketika pembelajar menyiapkan diri, mengumpulkan informasi, merumuskan masalah, menentukan fokus, mengolah informasi, menarik tafsiran dan inferensi terhadap realitas yang dihadapinya, berdiskusi, membaca, mengamati, dan lain-lain yang memperkaya masukan kognitifnya yang akan diproses selanjutnya.
Kedua, tahap inkubasi adalah ketika pembelajar memproses informasi yang dimilikinya sedemikian rupa, sehingga mengantarkannya pada ditemukannya pemecahan masalah atau jalan keluar yang dicarinya. Proses inkubasi ini analog dengan ayam yang mengerami telurnya sampai telur menetas menjadi anak ayam. Proses ini seringkali terjadi secara tidak disadari, dan memang berlangsung dalam kawasan bawah sadar (subconscious) yang pada dasarnya melibatkan proses perluasan pikiran (expanding of the mind). Proses ini dapat berlangsung beberapa detik sampai bertahun-tahun. Biasanya, ketika seorang penulis melalui proses ini seakan-akan ia mengalami kebingungan dan tidak tahu apa yang harus dilakukan. Oleh karena itu, tidak jarang seorang penulis yang tidak sabar mengalami frustrasi karena tidak menemukan pemecahan atas masalah yang dipikirkannya. Seakan-akan kita melupakan apa yang ada dalam benak kita. Kita berekreasi dengan anggota keluarga, melakukan pekerjaan lain, atau hanya duduk termenung. Kendatipun demikian, sesungguhnya di bawah sadar kita sedang mengalami proses pengeraman yang menanti saatnya untuk segera “menetas”.
Ketiga, tahap iluminasi adalah ketika datangnya inspirasi atau insight, yaitu gagasan datang seakan-akan tiba-tiba dan berloncatan dari pikiran kita. Pada saat ini, apa yang telah lama kita pikirkan menemukan pemecahan masalah atau jalan keluar. Iluminasi tidak mengenal tempat atau waktu. Ia bisa datang ketika kita duduk di kursi, sedang mengendarai mobil, sedang berbelanja di pasar atau di supermarket, sedang makan, sedang mandi, dan lain-lain.
Jika hal-hal itu terjadi, sebaiknya gagasan yang muncul dan amat dinantikan itu segera dicatat, jangan dibiarkan hilang kembali sebab momentum itu biasanya tidak berlangsung lama. Tentu saja untuk peristiwa tertentu, kita menuliskannya setelah selesai melakukan pekerjaan. Jangan sampai ketika kita sedang mandi, misalnya, kemudian keluar hanya untuk menuliskan gagasan. Agar gagasan tidak menguap begitu saja, seorang pembelajar menulis yang baik selalu menyediakan ballpoint atau pensil dan kertas di dekatnya, bahkan dalam tasnya ke mana pun ia pergi.
Seringkali orang menganggap iluminasi ini sebagai ilham. Padahal, sesungguhnya ia telah lama atau pernah memikirkannya. Secara kognitif, apa yang dikatakan ilham tidak lebih dari proses berpikir kreatif. Ilham tidak datang dari kevakuman tetapi dari usaha dan ada masukan sebelumnya terhadap referensi kognitif seseorang.
Keempat, tahap terakhir yaitu verifikasi, apa yang dituliskan sebagai hasil dari tahap iluminasi itu diperiksa kembali, diseleksi, dan disusun sesuai dengan fokus tulisan. Mungkin ada bagian yang tidak perlu dituliskan, atau ada hal-hal yang perlu ditambahkan, dan lain-lain. Mungkin juga ada bagian yang mengandung hal-hal yang peka, sehingga perlu dipilih kata-kata atau kalimat yang lebih sesuai, tanpa menghilangkan esensinya. Jadi, pada tahap ini kita menguji dan menghadapkan apa yang kita tulis itu dengan realitas sosial, budaya, dan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat.
D. Proses Pembelajaran Menulis
Proses menulis dapat dideskripsikan sebagai proses pemecahan masalah yang kompleks, yang mengandung tiga elemen, yaitu lingkungan tugas, memori jangka panjang penulis, dan proses menulis. Pertama, lingkungan tugas adalah tugas yang penulis kerjakan dalam menulis. Kedua, memori jangka panjang penulis adalah pengetahuan mengenai topik, pembaca, dan cara menulis. Ketiga, proses menulis meliputi tiga kegiatan, yaitu: (1) merencanakan (menentukan tujuan untuk mengarahkan tulisan), (2) mewujudkan (menulis sesuai dengan rencana yang sudah dibuat), dan (3) merevisi (mengevaluasi dan merevisi tulisan).
Ketiga kegiatan tersebut tidak merupakan tahap-tahap yang linear, karena penulis terus-menerus memantau tulisannya dan bergerak maju mundur (Zuchdi, 1997: 6). Peninjauan kembali tulisan yang telah dihasilkan ini dapat dianggap sebagai komponen keempat dalam proses menulis. Hal inilah yang membantu penulis dapat mengungkapkan gagasan secara logis dan sistematis, tidak mengandung bagian-bagian yang kontradiktif. Dengan kata lain, konsistensi (keajegan) isi gagasan dapat terjaga.
Berkaitan dengan tahap-tahap proses menulis, Tompkins (1990: 73) menyajikan lima tahap, yaitu: (1) pramenulis, (2) pembuatan draft, (3) merevisi, (4) menyunting, dan (5) berbagi (sharing). Tompkins juga menekankan bahwa tahap-tahap menulis ini tidak merupakan kegiatan yang linear. Proses menulis bersifat nonlinier, artinya merupakan putaran ber-ulang. Misalnya, setelah selesai menyunting tulisannya, penulis mungkin ingin meninjau kembali kesesuaiannya dengan kerangka tulisan atau draft awalnya. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan pada setiap tahap itu dapat dirinci lagi. Dengan demikian, tergambar secara menyeluruh proses menulis, mulai awal sampai akhir menulis seperti berikut.

1.Tahap Pramenulis
Pada tahap pramenulis, pembelajar melakukan kegiatan sebagai berikut:
a. Menulis topik berdasarkan pengalaman sendiri
b. Melakukan kegiatan-kegiatan latihan sebelum menulis
c. Mengidentifikasi pembaca tulisan yang akan mereka tulis
d. Mengidentifikasi tujuan kegiatan menulis
e. Memilih bentuk tulisan yang tepat berdasarkan pembaca dan tujuan yang telah mereka tentukan


2. Tahap Membuat Draft
Kegiatan yang dilakukan oleh pembelajar pada tahap ini adalah sebagai berikut:
a. Membuat draft kasar
b. Lebih menekankan isi daripada tata tulis

3. Tahap Merevisi
Yang perlu dilakukan oleh pembelajar pada tahap merevisi tulisan ini adalah sebagai berikut:
a. Berbagi tulisan dengan teman-teman (kelompok)
b. Berpartisipasi secara konstruktif dalam diskusi tentang tulisan teman-teman sekelompok atau sekelas
c. Mengubah tulisan mereka dengan memperhatikan reaksi dan komentar baik dari pengajar maupun teman
d. Membuat perubahan yang substantif pada draft pertama dan draft berikutnya, sehingga menghasilkan draft akhir

4. Tahap Menyunting
Pada tahap menyunting, hal-hal yang perlu dilakukan oleh pembelajar adalah sebagai berikut:
a. Membetulkan kesalahan bahasa tulisan mereka sendiri
b. Membantu membetulkan kesalahan bahasa dan tata tulis tulisan mereka sekelas/sekelompok
c. Mengoreksi kembali kesalahan-kesalahan tata tulis tulisan mereka sendiri
Dalam kegiatan penyuntingan ini, sekurang-kurangnya ada dua tahap yang harus dilakukan. Pertama, penyuntingan tulisan untuk kejelasan penyajian. Kedua, penyuntingan bahasa dalam tulisan agar sesuai dengan sasarannya (Rifai, 1997: 105—106). Penyuntingan tahap pertama akan berkaitan dengan masalah komunikasi. Tulisan diolah agar isinya dapat dengan jelas diterima oleh pembaca. Pada tahap ini, sering kali penyunting harus mereorganisasi tulisan karena penyajiannya dianggap kurang efektif. Ada kalanya, penyunting terpaksa membuang beberapa paragraf atau sebaliknya, harus menambahkan beberapa kalimat, bahkan beberapa paragraf untuk memperlancar hubungan gagasan. Dalam melakukan penyuntingan pada tahap ini, penyunting sebaiknya berkonsultasi dan berkomunikasi dengan penulis. Pada tahap ini, penyunting harus luwes dan pandai-pandai menjelaskan perubahan yang disarankannya kepada penulis karena hal ini sangat peka. Hal-hal yang berkaitan dengan penyuntingan tahap ini adalah kerangka tulisan, pengembangan tulisan, penyusunan paragraf, dan kalimat.
Kerangka tulisan merupakan ringkasan sebuah tulisan. Melalui kerangka tulisan, penyunting dapat melihat gagasan, tujuan, wujud, dan sudut pandang penulis. Dalam bentuknya yang ringkas itulah, tulisan dapat diteliti, dianalisis, dan dipertimbangkan secara menyeluruh, dan tidak secara lepas-lepas (Keraf, 1989: 134). Penyunting dapat memperoleh keutuhan sebuah tulisan dengan cara mengkaji daftar isi tulisan dan bagian pendahuluan. Jika ada, misalnya, dalam tulisan ilmiah atau ilmiah populer, sebaiknya bagian simpulan pun dibaca. Dengan demikian, penyunting akan memperoleh gambaran awal mengenai sebuah tulisan dan tujuannya. Gambaran itu kemudian diperkuat dengan membaca secara keseluruhan isi tulisan. Jika tulisan merupakan karya fiksi, misalnya, penyunting langsung membaca keseluruhan karya tersebut. Pada saat itulah, biasanya penyunting sudah dapat menandai bagian-bagian yang perlu disesuaikan.
Berdasarkan kerangka tulisan tersebut dapat diketahui tujuan penulis. Selanjutnya, berdasarkan pengetahuan atas tujuan penulis, dapat diketahui bentuk tulisan dari sebuah naskah (tulisan). Pada umumnya, tulisan dapat dikelompokkan atas empat macam bentuk, yaitu narasi, deskripsi, eksposisi, dan argumentasi.
Bentuk tulisan narasi dipilih jika penulis ingin bercerita kepada pembaca. Narasi biasanya ditulis berdasarkan rekaan atau imajinasi. Akan tetapi, narasi dapat juga ditulis berdasarkan pengamatan atau wawancara. Narasi pada umumnya merupakan himpunan peristiwa yang disusun berdasarkan urutan waktu atau urutan kejadian. Dalam tulisan narasi, selalu ada tokoh-tokoh yang terlibat dalam suatu atau berbagai peristiwa.
Bentuk tulisan deskripsi dipilih jika penulis ingin menggambarkan bentuk, sifat, rasa, corak dari hal yang diamatinya. Deskripsi juga dilakukan untuk melukiskan perasaan, seperti bahagia, takut, sepi, sedih, dan sebagainya. Penggambaran itu mengandalkan pancaindera dalam proses penguraiannya. Deskripsi yang baik harus didasarkan pada pengamatan yang cermat dan penyusunan yang tepat. Tujuan deskripsi adalah membentuk, melalui ungkapan bahasa, imajinasi pembaca agar dapat membayangkan suasana, orang, peristiwa, dan agar mereka dapat memahami suatu sensasi atau emosi. Pada umumnya, deskripsi jarang berdiri sendiri. Bentuk tulisan tersebut selalu menjadi bagian dalam bentuk tulisan lainnya.
Bentuk tulisan eksposisi dipilih jika penulis ingin memberikan informasi, penjelasan, keterangan atau pemahaman. Berita merupakan bentuk tulisan eksposisi karena memberikan informasi. Tulisan dalam majalah juga merupakan eksposisi. Buku teks merupakan bentuk eksposisi. Pada dasarnya, eksposisi berusaha menjelaskan suatu prosedur atau proses, memberikan definisi, menerangkan, menjelaskan, menafsirkan gagasan, menerangkan bagan atau tabel, mengulas sesuatu. Tulisan eksposisi sering ditemukan bersama-sama dengan bentuk tulisan deskripsi. Laras yang termasuk dalam bentuk tulisan eksposisi adalah buku resep, buku-buku pelajaran, buku teks, dan majalah.
Tulisan berbentuk argumentasi bertujuan meyakinkan orang, mem-buktikan pendapat atau pendirian pribadi, atau membujuk pembaca agar pendapat pribadi penulis dapat diterima. Bentuk tulisan tersebut erat kaitannya dengan eksposisi dan ditunjang oleh deskripsi. Bentuk argument-tasi dikembangkan untuk memberikan penjelasan dan fakta-fakta yang tepat sebagai alasan untuk menunjang kalimat topik. Kalimat topik, biasanya merupakan sebuah pernyataan untuk meyakinkan atau membujuk pembaca. Dalam sebuah majalah atau surat kabar, misalnya, argumentasi ditemui dalam kolom opini/wacana/gagasan/pendapat.
Kendatipun keempat bentuk tulisan tersebut memiliki ciri masing-masing, mereka tidak secara ketat terpisah satu sama lain. Dalam sebuah kolom, misalnya, dapat ditemukan berbagai bentuk tulisan tersebut tersebar di dalam paragraf yang membangun kerangka tersebut. Oleh karena itu, penyunting berfungsi untuk mempertajam dan memperkuat pembagian paragraf. Pembagian paragraf terdiri atas paragraf pembuka, paragraf penghubung atau isi, dan paragraf penutup sering kali tidak diketahui oleh penulis. Masih sering ditemukan tulisan yang sulit dipahami karena pemisahan bagian-bagian atau pokok-pokoknya tidak jelas.
Pemeriksaan atas kalimat merupakan penyuntingan tahap pertama juga. Pada tahap ini pun, sebaiknya penyunting berkonsultasi dengan penulis. Penyunting harus memiliki pengetahuan bahasa yang memadai. Dengan demikian, penyunting dapat menjelaskan dengan baik kesalahan kalimat yang dilakukan oleh penulis. Untuk itu, penyunting harus menguasai persyaratan yang tercakup dalam kalimat yang efektif. Kalimat yang efektif adalah kalimat yang secara jitu atau tepat mewakili gagasan atau perasaan penulis. Untuk dapat membuat kalimat yang efektif, ada tujuh hal yang harus diperhatikan, yaitu kesatuan gagasan, kepaduan, penalaran, kehe-matan atau ekonomisasi bahasa, penekanan, kesejajaran, dan variasi.
Penyuntingan tahap kedua berkaitan dengan masalah yang lebih terperinci, lebih khusus. Dalam hal ini, penyunting berhubungan dengan masalah kaidah bahasa, yang mencakup perbaikan dalam kalimat, pilihan kata (diksi), tanda baca, dan ejaan. Pada saat penyunting memperbaiki kalimat dan pilihan kata dalam tulisan, ia dapat berkonsultasi dengan penulis atau langsung memperbaikinya. Hal ini bergantung pada keluasan permasalahan yang harus diperbaiki. Sebaliknya, masalah perbaikan dalam tanda baca dan ejaan dapat langsung dikerjakan oleh penyunting tanpa memberitahukan penulis. Perbaikan dalam tahap ini bersifat kecil, namun sangat mendasar.

5. Tahap Berbagi
Tahap terakhir dalam proses menulis adalah berbagi (sharing) atau publikasi. Pada tahap berbagi ini, pembelajar:
a. Mempublikasikan (memajang) tulisan mereka dalam suatu bentuk tulisan yang sesuai, atau
b. Berbagi tulisan yang dihasilkan dengan pembaca yang telah mereka tentukan.
Dari tahap-tahap pembelajaran menulis dengan pendekatan/model proses sebagaimana dijabarkan di atas dapat dipahami betapa banyak dan bervariasi kegiatan pembelajar dalam proses menulis. Keterlibatannya dalam berbagai kegiatan tersebut sudah barang tentu merupakan pelajaran yang sangat berharga guna mengembangkan keterampilan menulis. Kesulitan-kesulitan yang dialami oleh pembelajar pada setiap tahap, upaya-upaya mengatasi kesulitan tersebut, dan hasil terbaik yang dicapai oleh para pembelajar membuat mereka lebih tekun dan tidak mudah menyerah dalam mencapai hasil yang terbaik dalam mengembangkan keterampilan menulis.
Pembelajaran menulis dengan menggunakan pendekatan keteram-pilan proses merupakan suatu alternatif untuk mencapai keterampilan menulis pembelajar secara efektif. Hal ini dimungkinkan karena diterap-kannya proses kreatif dalam menulis yang diimplementasikan melalui ta-hap-tahap kegiatan yang dapat dilakukan pembelajar (pramenulis, membuat draft, merevisi, menyunting, dan berbagi (sharing). Proses menulis itu tidak selalu bersifat linear tetapi dapat bersifat nonlinier, dan perlu disesuaikan dengan berbagai jenis tulisan yang mereka susun.

E. Peran Media Massa
Secara umum fungsi pers mencakup empat hal yaitu menyebarluaskan informasi, kritik sosial, hiburan, dan pendidikan. Tetapi sejauh ini peran pers atau media massa lebih khusus surat kabar dan televisi lebih banyak pada informasi dan hiburan. Padahal fungsi pendidikan juga cukup bagus dilaksanakan sebagai bentuk kepedulian media massa dalam mendorong kualitas pendidikan.
Pembelajaran menulis memiliki keterkaitan dengan media massa khususnya surat kabar. Surat kabar bisa dijadikan media belajar bagi guru untuk kegiatan pembelajaran keterampilan menulis dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP) atau Sekolah Menengah Atas (SMA). Semua surat kabar memiliki rubrik opini yang menyajikan ide dan buah pikiran pengamat dan kalangan berkompeten tentang sesuatu hal. Rubrik ini bisa dijadikan media belajar bagi siswa dalam membuat tulisan atau karya tulis. Misalnya menganalisis tulisan atau merumuskan simpulan dari tulisan opini yang dimuat di surat kabar ber-sangkutan.
Di samping rubrik opini, juga ada kolom budaya yang bisa dijadikan ruang kreativitas bagi siswa dalam menuangkan ide-ide tulisannya tentang kebudayaan dan kesusastraan. Bahkan di berbagai surat kabar sudah ada halaman atau rubrik khusus bagi anak-anak sekolah. Di Harian Fajar Ma-kassar misalnya ada rubrik khusus Kegiatan dan Kreativitas Remaja (Keker) yang isinya mengulas kegiatan dan kreativitas remaja terutama anak-anak sekolah SMP dan SMA. Seperti halnya di dalam rubrik opini, halaman ini juga bisa dijadikan media pembelajaran dalam mendorong kreativitas menulis peserta didik.
Selain itu media massa juga bisa dijadkan wadah latihan dalam mengembangkan keterampilan menulis bagi siswa. Sekolah bisa menjalin kerja sama dengan media massa dalam mengakomodasi tulisan atau karya tulis yang dibuat siswa. Di rubrik Keker di Harian Fajar misalnya setiap edisi Sabtu menyiapkan ruang atau kolom khusus cerita mini. Kolom ini sangat tepat dimanfaatkan oleh siswa-siswa dalam menuangkan ide-ide ceritanya dengan kemasan remaja. Begitu halnya dengan ide-ide lain menyangkut aktivitas di sekolah mereka bisa dituangkan dalam bentuk karya tulis lalu dipublikasikan di halaman Keker.
Realitanya rubrik Keker ini sudah mulai dimaksimalkan beberapa Sekolah Menengah Atas (SMA) di Kota Makassar. Kegiatan dan peristiwa-peristiwa di sekolah kerap ditulis oleh siswa di sekolah bersangkutan lalu dikirim ke pengasuh rubrik Keker. Bahkan kesannya sudah mulai ada rivalitas kecil-kecilan antarsekolah. Sekolah yang lebih sering muncul tulisannya berbangga diri dan puas karena ide dan pikiran-pikirannya bisa dipubli-kasikan di media massa yang secara otomatis akan dibaca ribuan orang yang berlangganan koran.
Rubrikasi dan ruang-ruang yang tersedia di surat kabar diyakini akan mampu mendorong minat dan kreativitas anak didik dalam mengembangkan keterampilan menulisnya. Banyak orang termasuk peserta didik yang malas menulis bukan semata-mata karena tidak memiliki ide tulisan, tetapi juga tidak mempunyai wadah untuk menuangkan ide dan gagasannya tersebut. Wadah yang paling tepat untuk menuangkan ide itu tentu ada pada media massa. Karena tulisannya dipublikasikan di koran atau surat kabar, siswa semakin termotivasi dan selalu ingin menulis terus. Itu karena ide-ide dan gagasannya yang dimuat di media massa itu tidak hanya dibaca oleh rekan-rekannya, tetapi juga masyarakat luas.

F. Simpulan dan Saran
1). Simpulan
Berangkat dari pembahasan pada bagian sebelumnya, penulis bisa menyebutkan beberapa simpulan seperti berikut ini:
1. Belajar bahasa mencakup empat keterampilan berbahasa yaitu mende-ngarkan, berbicara, menulis, dan membaca. Keempat aspek tersebut harus mendapatkan porsi seimbang dan dilaksanakan dalam kegiatan pembelajaran secara terpadu.
2. Menulis bukan pekerjaan yang sulit melainkan juga tidak mudah. Untuk memulai menulis, setiap penulis tidak perlu menunggu menjadi seorang penulis yang terampil.
3. Sebagai proses kreatif yang berlangsung secara kognitif, penyusunan sebuah tulisan memuat empat tahap, yaitu: (1) tahap persiapan (prape-nulisan), (2) tahap inkubasi, (3) tahap iluminasi, dan (4) tahap veri-fikasi/evaluasi.
4. Pembelajaran menulis memiliki keterkaitan dengan media massa khususnya surat kabar. Surat kabar bisa dijadikan media belajar bagi guru untuk kegiatan pembelajaran keterampilan menulis dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP) atau Sekolah Menengah Atas (SMA).

2). Saran
Karena disusun dalam waktu yang relatif singkat, penulis yakin maka-lah ini masih memiliki banyak kekurangan dan kelemahan. Itu sebabnya saran dan kritik yang sifatnya membangun senantiasa diharapkan dari pembaca makalah ini. Semoga makalah singkat ini bisa bermanfaat dalam pelaksanaan pembelajaran di sekolah khususnya dalam pembelajaran keterampilan menulis.





Daftar Pustaka

Budyatna, Muhammad. 2006. Jurnalistik Teori Dan Praktek. Bandung, Rosda.
McQuail, Denis, Teori Komunikasi Massa, Erlangga, Jakarta, 1987.
Keraf, Gorys. (1989). Komposisi. Flores: Nusa Indah.

McCrimmon, James M. (1967). Writing With a Purpose. Boston: Houghton Mifflin Company.

Rifai, Mien A. (1997). Pegangan Gaya Penulisan, Penyuntingan, dan Penerbitan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Zuchdi, Darmiyati. (1997). “Pembelajaran Menulis dengan Pendekatan Proses”, Karya Ilmiah disajikan dan dibahas pada Senat Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni IKIP Yogyakarta tanggal 15 November 1996 (tidak dipublikasikan). Yogyakarta: IKIP.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar