Sabtu, 26 Februari 2011

Implementasi Ktsp dalam Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia Di Sekolah Menengah Atas

Oleh :

ERNIATI, S.Pd



1. Pendahuluan
Secara teoritis, pengembangan kurikulum dapat terjadi kapan saja sesuai dengan kebutuhan. Salah satu kebutuhan yang harus diperhatikan dalam kurikulum adalah pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan an teknologi serta perilaku kehiduan bermasyarakat
Dunia pendidikan Indonesia dalam beberapa tahun terakhir ini diramaikan oleh isu pergantian kurikulum. Kurikulum yang berlaku sampai tahun 2006 adalah Kurikulum 1994. Kurikulum ini mengalami penyempurnaan dan hasil penyempurnaan ini adalah Kurikulum 2004 atau juga dikenal dengan sebutan KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi). Ketika KBK ramai dibicarakan dan muncul buku-buku pelajaran yang disusun berdasarkan kurikulum ini, muncul KTSP atau Kurikulum 2006 yang merupakan penyempurnaan dari KBK. KTSP mulai diberlakukan secara berangsur-angsur pada tahun ajaran 2006/2007.
Adanya tiga macam kurikulum yang berlaku paling tidak pada awal pemberlakuan KTSP sangat membingungkan. Situasi ini diperparah dengan munculnya kesimpangsiuran informasi tentang KBK dan KTSP yang beredar di masyarakat. Guru sebagai orang yang berhubungan langsung dengan pelaksanaan kurikulum merupakan pihak yang paling dibingungkan dengan situasi ini. Tulisan ini akan membahas beberapa hal yang dapat dilakukan guru dalam menghadapi KTSP.
2. Landasan Pengembangan Kurikulum
Landasan pengembangan kurikulum pada hakikatnya merupakan faktor yang harus diperhatikan dan dipertimbangkan pada waktu mengembangkan suatu kurikulum lembaga pendidikan, baik di lingkungan sekolah maupun di luar sekolah. Secara umum, terdapat tiga landasan dalam pengembangan kurikulum, yaitu landasan filosofi, landasan psikologi, dan landasan sosiologi. Masing-masing landasan sangat berperan dalam langkah pengembangan kurikulum.


a. Landasan Filosofi
Filsafat pada dasarnya adalah suatu pandangan hidup yang ada pada setiap orang. Dengan kata lain bahwa setiap orang mempunyai filsafat dalam arti pandangan hidup pada dirinya. Berkenaan dengan pendidikan, setiap orang mempunyai pandangan tertentu mengenai pendidikan. Berdasarkan pandangan hidup manusia itulah tujuan kurikulum dirumuskan.
Terdapat lima aliran filsafat pendidikan, yaitu filsafat perenialisme, essensialisme, eksistensialisme, progresivisme, dan konstruktivime. Aliran Filsafat Perenialisme, Essensialisme, Eksistensialisme merupakan aliran filsafat yang mendasari terhadap pengembangan Model Kurikulum Subjek-Akademis. Sedangkan, filsafat progresivisme memberikan dasar bagi pengembangan Model Kurikulum Pendidikan Pribadi. Sementara, filsafat rekonstruktivisme banyak diterapkan dalam pengembangan Model Kurikulum Interaksional.
Masing-masing aliran filsafat pasti memiliki kelemahan dan keunggulan tersendiri. Oleh karena itu, dalam praktek pengembangan kurikulum, penerapan aliran filsafat cenderung dilakukan secara eklektif untuk lebih mengkompromikan dan mengakomodasikan berbagai kepentingan yang terkait dengan pendidikan. Meskipun demikian saat ini, pada beberapa negara dan khususnya di Indonesia, tampaknya mulai terjadi pergeseran landasan dalam pengembangan kurikulum, yaitu dengan lebih menitikberatkan pada filsafat rekonstruktivisme.
b. Landasan Psikologi
Terdapat dua landasan psikologi yang digunakan dalam pengembangan kurikulum, yaitu psikologi belajar (psychology of learning) dan psikologi perkembangan. Psikologi belajar digunakan sebagai landasan dalam men-screen tujuan pembelajaran umum/standar kompetensi/SK (tentative general objective) yang sudah dirumuskan untuk merumuskan precise education (kompetensi dasar/KD), dan menyeleksi pengalaman-pengalaman belajar yang akan dirumuskan dalam kurikulum. Sedangkan psikologi perkembangan lebih berperan dalam pengorganisasian pengalaman-pengalaman belajar, yaitu pada tingkat pendidikan mana atau pada kelas berapa suatu pengalaman belajar tertentu harus diberikan karena harus sesuai dengan perkembangan jiwa anak. Pada dasarnya dua landasan psikologi tersebut sangat diperlukan dalam pengebangan kurikulum yaitu pada langkah merumuskan tujuan pembelajaran, menyeleksi serta mengorganisasi pengalaman belajar.

c. Landasan Sosiologi
Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara manusia dalam kelompok-kelompok dan struktur sosialnya. Jadi sosiologi mempelajari bagaimana manusia itu berhubungan satu dengan yang lain dalam kelompoknya dan bagaimana susunan unit-unit masyarakat atau sosial di suatu wilayah serta kaitannya satu dengan yang lain. Dengan kata lain sosiologi berkaitan dengan aspek sosial atau masyarakat.
Sosiolologi mempunyai empat perenan yang sangat penting dalam pengembangan kurikulum. Empat peranan sosiologi tersebut adalah berperan dalam proses penyesuaian nilai-nilai dalam masyarakat, berperan dalam penyesuaian dengan kebutuhan masyarakat, berperan dalam penyediaan proses sosial, dan berperan dalam memahami keunikan individu, masyarakat dan daerah.
Dalam merumuskan tujuan kurikulum harus memahami tiga sumber kurikulum yaitu siswa (student), masyarakat (society), dan konten (content). Sumber siswa lebih menekankan pada kebutuhan-kebutuhan yang diperlukan siswa pada tingkat pendidikan tertentu yang sesuai dengan perkembangan jiwa atau usianya. Sumber masyarakat lebih melihat kepada kebutuhan-kebutuhan masyarakat dan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat, sedangkan sumber konten adalah berhubungan dengan konten kurikulum yang akan dikembangkan pada tingkat pendidikan yang sesuai. Dengan kata lain landasan sosiologi digunakan dalam pengembangan kurikulum dalam merumuskan tujuan pembelajaran dengan memperhatikan sumber masyarakat (society source) agar kurikulum yang dikembangkan sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat
3. KTSP
KTSP atau Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan adalah kurikulum operasional yang disusun, dikembangkan, dan dilaksanakan oleh setiap satuan pendidikan dengan memperhatikan standar kompetensi dan kompetensi dasar yang dikembangkan Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Kurikulum ini juga dikenal dengan sebutan Kurikulum 2006 karena kurikulum ini mulai diberlakukan secara berangsur-angsur pada tahun ajaran 2006/2007. Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah harus sudah menerapkan kurikulum ini paling lambat pada tahun ajaran 2009/2010.
KTSP merupakan penyempurnaan dari Kurikulum 2004 atau yang juga dikenal dengan KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi). Seperti KBK, KTSP berbasis kompetensi. KTSP memberikan kebebasan yang besar kepada sekolah untuk menyelenggarakan program pendidikan yang sesuai dengan (1) kondisi lingkungan sekolah, (2) kemampuan peserta didik, (3) sumber belajar yang tersedia, dan (4) kekhasan daerah. Dalam program pendidikan ini, orang tua dan masyarakat dapat terlibat secara aktif.
Pengembangan dan penyusunan KTSP merupakan proses yang kompleks dan melibatkan banyak pihak: guru, kepala sekolah, guru (konselor), dan komite sekolah. Berikut ini akan dibahas beberapa hal yang dapat dilakukan guru dalam menghadapi KTSP.
4. Model Kurikulum
Ada beberapa model kurikulum yang dikembangkan dalam pelaksanaan proses pembelajaran di sekolah. Ralph Tyler (1949) menyebutkan beberapa model kurikulum antara lain model Hilda Taba (1996), Stenhouse (1975), dan Stake (1976) serta beberapa model kurikulum yang lainnya. Namun, yang akan digunakan di sini adalah Model Taba.
5. Bahan Ajar
Karena KTSP dikembangkan dan disusun oleh satuan pendidikan atau sekolah sesuai dengan kondisinya masing-masing, setiap sekolah mempunyai kurikulum yang berbeda. Dengan demikian, bahan ajar yang digunakan juga mempunyai perbedaan. Tidak ada ketentuan tentang buku pelajaran yang dipakai dalam KTSP. Buku yang sudah ada dapat dipakai. Karena pembelajaran didasarkan pada kurikulum yang dikembangkan sekolah, bahan ajar harus disesuaikan dengan kurikulum tersebut. Oleh karena itu, guru dapat mengurangi dan menambah isi buku pelajaran yang digunakan.
Dengan demikian, guru harus mandiri dan kreatif. Guru harus menyeleksi bahan ajar yang digunakan dalam pembelajaran sesuai dengan kurikulum sekolahnya.Guru dapat memanfaatkan bahan ajar dari berbagai sumber (surat kabar, majalah, radio, televisi, internet, dsb.). Bahan ajar dikaitkan dengan isu-isu lokal, regional, nasional, dan global agar peserta didik nantinya mempunyai wawasan yang luas dalam memahami dan menanggapi berbagai macam situasi kehidupan.
Untuk pelajaran membaca, misalnya, bahan bacaan dapat diambil dari surat kabar. Di samping surat kabar yang berskala nasional yang banyak menyajikan isu-isu nasional, ada surat kabar lokal yang banyak menyajikan isu-isu daerah. Kedua jenis sumber ini dapat dimanfaatkan. Bahan bacaan yang mengandung muatan nasional dan global dapat diambil dari surat kabar berskala nasional, sedangkan bahan bacaan yang mengandung muatan lokal dapat diambil dari surat kabar daerah. Berdasarkan bahan bacaan ini, guru dapat mengembangkan pembelajaran bahasa Indonesia yang kontekstual. Peserta didik diperkenalkan dengan isu-isu yang menjadi perhatian masyarakat di sekitarnya dan masyarakat yang tatarannya lebih luas. Bahan ajar yang beragam jenis dan sumbernya ini tentu juga dapat digunakan untuk pelajaran-pelajaran yang lain (menulis, mendengarkan, dan berbicara).
Mengingat pentingnya televisi dan komputer (internet) dalam kehidupan sekarang ini, guru perlu memanfaatkan bahan ajar dari kedua sumber ini. Televisi dan komputer juga dapat dapat dipakai sebagai media pembelajaran yang menarik.

6. Metode Pembelajaran
Dalam KTSP guru juga diberi kebebasan untuk memanfaatkan berbagai metode pembelajaran. Guru perlu memanfaatkan berbagai metode pembelajaran yang dapat membangkitkan minat, perhatian, dan kreativitas peserta didik. Karena dalam KTSP guru berfungsi sebagai fasilitator dan pembelajaran berpusat pada peserta didik, metode ceramah perlu dikurangi. Metode-metode lain, seperti diskusi, pengamatan, tanya-jawab perlu dikembangkan.
Pembelajaran yang dilakukan melalui diskusi, misalnya, dapat melibatkan partisipasi dari semua peserta didik. Semua peserta didik dapat berbicara, mengemukakan pendapatnya masing-masing. Guru dalam hal ini hanya mengarahkan bagaimana diskusi berjalan. Isu diskusi perlu dikaitkan dengan lingkungan sekitar (sekolah, daerah) hingga lingkungan global.
Kegiatan pembelajaran tidak selalu berlangsung di dalam kelas. Kegiatan dapat dilakukan di luar kelas (perpustakaan, kantin, taman, dsb.), di luar sekolah (mengunjungi lembaga bahasa, stasiun radio/televisi, penerbit, dsb.). Beragamnya tempat pembelajaran dapat membuat suasana belajar yang tidak membosankan.
Kegiatan pembelajaran dapat juga melibatkan orang tua dan masyarakat. Sekolah dapat mengundang orang yang mempunyai profesi tertentu atau ahli dalam bidang tertentu untuk berbicara dan berdialog dengan peserta didik. Sebagai contoh, dalam pelajaran menulis dan berbicara (wawancara), kalau ada orang tua peserta didik yang berprofesi sebagai wartawan, guru dapat mengundang orang yang bersangkutan untuk berbicara dan berdiskusi tentang pekerjaannya denga peserta didik. Kegiatan seperti ini akan berguna untuk peserta didik, guru, dan orang tua. Mereka dapat saling belajar dan proses pembelajaran menjadi menarik dan bersifat kontekstual.
Dalam lingkungan sekolah, staf sekolah juga dapat dimanfaatkan. Misalnya, untuk pelajaran menulis surat resmi guru bisa meminta staf administrasi untuk berbicara tentang penulisan surat. Di samping berguna sebagai sumber pembelajaran, kegiatan ini juga berguna untuk membentuk lingkungan sekolah yang kondusif, yaitu adanya hubungan dan kerja sama yang baik di antara peserta didik, guru, dan staf.
Kalau memungkinkan, kegiatan pembelajaran dapat dilakukan dengan kunjungan peserta didik kepada orang dengan profesi tertentu (misalnya penyunting bahasa atau penterjemah) atau ke lembaga tertentu (misalnya lembaga bahasa atau penerbit) untuk menggali informasi tentang bahasa Indonesia. Kegiatan ini akan membuka wawasan peserta didik dan guru akan profesi yang berkaitan dengan bahasa Indonesia dan akan pentingnya bahasa Indonesia sehingga diharapkan muncul sikap positif terhadap bahasa Indonesia.

7. Peluang dan Tantangan KTSP
Pemberlakuan KTSP pada dasarnya dimaksudkan untuk meningkatkan mutu pendidikan melalui kemandirian sekolah. KTSP merupakan kurikulum yang sesuai dengan dinamika kehidupan di Indonesia sekarang ini dikaitkan dengan isu-isu seperti globalisasi dan otonomi daerah. Akan tetapi, pelaksanaan KTSP menuntut banyak hal dari sekolah dan masyarakat seperti profesionalisme, kreativitas, kemandirian guru dan kepala sekolah, serta keterlibatan masyarakat. Pelaksanaan KTSP juga menuntut banyak hal dari pemerintah seperti perencanaan pendidikan yang baik dan terarah, penyediaan sarana dan prasarana yang memadai, dan birokrasi/prosedur administrasi yang sederhana. KTSP juga menuntut partisipasi dan kepedulian masyarakat. Dengan persiapan yang matang dan suasana yang kondusif, KTSP berpeluang besar untuk menghasilkan peserta didik yang memiliki kompetensi yang diharapkan.
Tantangan bagi semua yang terlibat dalam penyelenggaraan pendidikan adalah meningkatkan profesionalisme. Dalam kaitannya dengan pembelajaran bahasa Indonesia, guru perlu terus meningkatkan kemampuannya dalam bidang pembelajaran dan berbahasa Indonesia.
Pembelajaran bahasa Indonesia pada dasarnya bertujuan membekali peserta didik kemampuan berkomunikasi secara efektif dan efisien dalam bahasa Indonesia lisan dan tulis. Perubahan atau pergantian kurikulum selalu menimbulkan masalah dan kebingungan bagi semua yang terlibat dalam kegiatan pendidikan, terutama guru. Apa pun kurikulumnya, guru bahasa Indonesia harus tetap berpegang pada tujuan pembelajaran bahasa Indonesia. Guru perlu terus berusaha meningkatkan kemampuannya dan terus belajar untuk memberikan yang terbaik bagi peserta didik. Karena kurikulum yang akan berlaku dalam beberapa tahun mendatang adalah KTSP, guru perlu mengenal, mempersiapkan diri, dan menyiasati kurikulum ini. Dengan demikian, guru akan dapat menghadapi dan menanggulangi masalah-masalah yang muncul.

Kunci suksesnya pelaksanaan KTSP adalah inovasi pembelajaran yang terpusat pada siswa. Contohnya, pembelajaran IPA yang masih bersifat klasikal, belum memanfaatkan potensi alam sebagai sumber belajar. Ada beberapa sekolah yang sudah mendapatkan bantuan model pembelajaran namun belum termanfaatkan secara optimal. Hal ini, disebabkan oleh kekurangmampuan guru dalam mengadopsi perangkat pembelajaran yang dihibahkan. Keengganan pemanfaatan pembelajaran inilah menambah rumitnya penerapan KTSP di sekolah. Target agar sekolah yang mendapatkan bantuan peralatan pembelajaran agar ditularkan kepada sekolah lain belum berjalan sesuai dengan yang diharapkan.

Selanjutnya dalam menyikapi tentang kurikulum muatan lokal terdapat miskonsepsi. Adanya kesalahan persepsi tentang kurikulum muatan lokal akibat minimnya informasi tentang kurikulum muatan lokal. Misalnya pelajaran Iqra’, Olahraga dan Kesenian di jalankan sebagai mata pelajaran muatan lokal padahal mata pelajaran tersebut merupakan kategori mata pelajaran pengembangan kepribadian. Adanya keterbatasan buku/bahan rujukan muatan lokal merupakan kendala paling besar dalam menerapkan KTSP pada setiap jenjang pendidikan.Seyogyanya muatan lokal disusun sesuai dengan potensi daerah dan ketersediaan bahan yang ada, yang dapat dijadikan sebagai mata pelajaran keunggulam kompetitif. Pada umumnya muatan lokal yang dikembangkan di sekolah dasar adalah budaya dan seni daerah. Persoalannya tentang pengembangan budaya dan seni daerah adalah belum tersedianya buku rujukan yang memadai. Sehingga sangat tidak mungkin bila
menerapkan buku rujukan budaya daerah dari tempat lain yang struktur dan budayanya berbeda. Kondisi ini diperparah oleh ketersediaan guru yang memiliki kompetensi dan kualifikasi bidang studi/mata pelajaran muatan lokal. Peran Dinas Pendidikan Kabupaten Kota semestinya sudah melakukan inventarisasi tentang kebutuhan sekolah.

Mencermati struktur kurikulum masih sepenuhnya merujuk dan mengadopsi struktur kurikulum yang tersedia. Kondisi ini disebabkan oleh belum tersosialisasinya dengan baik tentang KTSP ke sekolah-sekolah dan belum adanya bantuan nara sumber yang memadai bagi guru-guru terutama dalam pengembangan model-model pembelajaran dan system penilaian mengakibatkan terjadinya stagnasi dalam implementasi KTSP. Beberapa faktor penting penghambat implementasi KTSP adalah minimnya buku paket yang relevan dengan tuntutan KTSP serta belum lengkapnya sarana dan prasarana pembelajaran serta sesuai dengan persyaratan minimal merujuk pada UU No. 23 Tahun 2003 (Delapan Standar Pelayanan Minimal). Terjadinya miss konsepsi tentang muatan lokal, padahal mata pelajaran pengembangan kepribadian dijalankan sebagai mata pelajaran muatan


8. Implementasi KTSP di Sekolah Menengah Atas

Dalam tataran sosialisasi KTSP, sepenuhnya semua sekolah yang menyelenggarakan KTSP belum tersosialisasi dengan baik. Beberapa elemen-elemen penting dalam KTSP belum sepenuhnya dipahami oleh sekolah. Bimbingan teknis tentang penyusunan KTSP di sekolah menengah atas sangat dibutuhkan. Dalam konteks kelembagaan di tingkat sekolah sebagain besar sekolah belum terbentuk team pengembang KTSP. KTSP disusun secara sepenuhnya merujuk pada BNSP dan belum diimbangi oleh inovasi dan kreativitas penyusunan yang berbasis pada kekuatan sekolah penyelenggara. Misalnya, perumusan visi dan misi belum terjabarkan dengan baik dalam rencana strategis sekolah secara terukur pencapaiannya.

Pada tingkat guru masih dibutuhkan bimbingan tentang merumuskan kata-kata operasional dalam menyusun desain instruksional. Padahal, pemilihan kata-kata operasional sangat penting untuk menentukan ketepatan dalam merumuskan tujuan pembelajaran dan kompetensi yang ingin dicapai dalam proses pembelajaran. Kondisi ini diperparah oleh kurangnya pemahaman tentang pembuatan model-model pembelajaran secara terpadu dan terintegrasi untuk semua bidang studi. Disamping itu, pemahaman bagi guru tentang sistem penilaian dengan model KTSP belum sepenuhnya diikuti oleh guru. Kurangnya sosialisasi tentang KTSP bagi guru-guru sebagai faktor utamanya. Padahal, memahami secara komprensif tentang KTSP baik di tingkat sekolah, perencanaan, pelaksanaan dan sistem evaluasi sangat penting. Terutama pemahaman bagi guru sebagai pelaku agar KTSP dapat berjalan sebagaimana yang telah diamanatkan.

Secara nasional masih banyak sekolah yang belum siap melaksanakan KTSP. Sahabat kita, Mungin Eddy Wibowo anggota BSNP, mengungkapkan bahwa pemetaan kemampuan sekolah-sekolah di daerah untuk menyusun KTSP itu perlu. Akan tetapi, justru di daerah ada kepala dinas pendidikan yang justru bingung bagaimana menerapkan KTSP (Kompas, 29/2/2007).

Kenyataan ini tentu menambah masalah dan tidak tertutup kemungkinan dihadapi juga oleh Dinas Sesungguhnya, selain persoalan komitmen, dalam penerapan KTSP peran Diknas dan sekolah amat dominan. Diknas seyogyanya memprioritaskan dilakukannya studi untuk mengkaji tingkat kesiapan sekolah-sekolah, baik dari segi sarana prasarana dan kesiapan SDM sekolah dalam mengadopsi kurikulum baru ini sehingga penerapan KTSP nantinya dapat tepat sasaran. Ini dapat dilakukan dengan melibatkan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK), Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP), dan stake holder dalam sinergi penelitian yang secara khusus ditujukan untuk memetakan kesiapan sekolah secara menyeluruh di wilayah kota dan kabupaten.

Selain itu, sekolah juga diharapkan proaktif mempersiapkan diri menyongsong perubahan kurikulum dengan sikap yang positif dan upaya yang mendukung keberhasilan perubahan itu ke arah yang lebih baik. Kepala sekolah dituntut untuk memfasilitasi dan berinisiasi meningkatkan kemampuan guru-gurunya agar dapat memiliki bekal dan kompetensi yang memadai, tidak saja terampil mengajar dengan menggunakan bahan ajar siap saji, melainkan juga dapat menyusun dan merencanakan sendiri pengajarannya. Tidak hanya itu, karena KTSP memberi peluang sekolah untuk mengembangkan kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan dan potensi yang ada di lingkungan sekitar, maka guru dituntut untuk memiliki kompetensi yang lebih kompleks dan adaptif terhadap perubahan. Semestinya, dengan diberlakukannya KTSP bisa merangsang guru benar- benar kreatif dalam memfasilitasi siswanya untuk belajar dengan memanfaatkan sumber- yang tersedia mempertimbangkan perbedaan-perbedaan pada peserta didik. Kenyataan di sebagian sekolah menunjukkan bahwa pemahaman kepala sekolah dan juga guru masih amat minim dalam pengetahuan tentang KTSP. Masih juga dipersoalkan hal-hal yang tidak substansial berkenaan dengan nama kurikulum (Kurikulum 2006 atau KTSP) dan mengapa Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) ditinggalkan. Padahal esensi dari perubahan itu tidak berpaling dari persoalan bagaimana membelajarkan siswa untuk mencapai kompetensi yang dituju, yang setidaknya meliputi ranah kognitif, afektif, dan psikomotor sesuai dengan jenjang pendidikan. Untuk mengatasi itu diperlukan kemitraan yang erat antara Lembaga Pendidikan dan Tenaga Kependidikan (LPTK) dan sekolah, yang difasilitasi oleh Dinas Pendidikan setempat. Realisasinya dapat berupa kerja sama dalam bentuk pelatihan guru-guru dan juga peningkatan kompetensi guru dengan mengikuti pendidikan setingkat sarjana (dan pascasarjana) yang sesuai dengan kebutuhan sekolah. Untuk itu, LPTK juga perlu menyelaraskan kurikulumnya dengan kompetensi guru dan pengelola sekolah, sehingga dapat memberi bekal yang gayut dengan kebutuhan di sekolah dasar dan menengah. Dalam konteks penerapan KTSP, kemitraan dalam pelatihan dan pendidikan lanjut itu perlu didahului dengan analisis situasi yang diperoleh dari hasil penelitian objektif yang dapat memetakan masalah dan tingkat kesiapan sekolah yang akan menyelenggarakan KTSP.

Setelah itu dapatlah diterapkan uji coba KTSP dengan mengambil sampel sekolah tertentu secara purposif, yakni dengan memilih sekolah yang sudah siap menerapkan KTSP di setiap kabupaten. Atau, KTSP dicobakan hanya dalam satu kabupaten saja terlebih dahulu. Keduanya memiliki keunggulan dan kelemahannya masing-masing.

Selain kesiapan sarana, prasarana, dan SDM sekolah, prinsip yang semestinya diperhitungkan dalam memilih satu di antara kedua alternatif itu adalah prinsip keadilan an pemerataan. Ini mengingat bahwa kebijakan apa pun yang diambil dalam konteks pendidikan senantiasa menghadirkan dampak sosial, ekonomi, dan politik yang akibatnya dirasakan oleh seluruh masyarakat. Sebagai refleksi akhir perlu dikemukakan bahwa keberhasilan dunia pendidikan menerapkan KTSP amat ditentukan oleh itikad baik dan ada tidaknya kemauan untuk mengubah orientasi menuju paradigma berpikir yang dilandasi falsafah otonomi. Reorientasi memungkinkan penyelenggaraan dan pendidikan di sekolah secara lebih efisien dan unggul dalam pengembangan potensi sesuai dengan konteksnya. Sanggupkah kita berubah menuju yang lebih baik? Sebagian jawabannya ada pada siap atau tidakkah kita menerapkan KTSP di Negara Tercinta ini.








DAFTAR PUSTAKA

Alwasilah, A. Chaedar. 2006. “Kurikulum Bahasa Berbasis Sastra.” Makalah untuk Seminar Nasional Kondisi Bahasa Indonesia Masa Kini, Akademi Jakarta Taman Ismail Marzuki, Jakarta.
Anonim, 2007. Plus Minus KTSP, Dunia Guru: http://www.duniaguru.com
Anonim, 2006. Towards Piloting School based continuous assessment at middle basic
level, Conference an a Assesment in Education, 26-30 June, 2006.

Anonim, 2007. Satndards-Aligned Curriculum Development, Illinois State Board of
Education Website Resources:, http://www.isbe.net/sos/default.htm

Anonim, 2006. BNSP dan Kepmendiknas, Permen tentang KTSP, Jakarta.

Beane, 1996. Dalam Catatan Kritis Kurikulum 2006, Media Indonesia, 5 Oktober 2006
yang ditulis oleh Paulus Maridjan.

Bolstad, R. 2004. School-Based Curriculum Development: Redifining the term for New
Zealand Schools Today and Tomorrow, paper presented at the conference of the
New Zealand Association of Research in Education, 24-26 November 2004.

Cheong Cheng, Y, 1994. Effectiveness of Curriculum Change in School: An
Organizational Perspective, International of Educational Management, Vol. 8,
No. 3, hal. 26-34

Drost, J. 2006. Dari KBK sampai MBS. Jakarta: Buku Kompas.
Fernandes, H.J.X. 1984. Evaluation of Educational Program. National Education
Planning, Evaluation and Curriculum Development. Jakarta.

Kunandar, 2007. Guru Profesional, Implementasi KTSP dan Persiapan Menghadapi
Sertifikasi Guru, Rajagrasindopersada, Jakarta.
Mulyasa, E. 2002. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Bandung: Remaja Rosdkarya.
Mulyasa, E. 2006. Kurikulum Satuan Pendidikan: Sebuah Panduan Praktis. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar